Total Tayangan Halaman

Kamis, 25 Januari 2018

Ada Apa Dengan Perda Zakat ..??




Assalaamu’alaikum Wr Wb.
Hai Sahabat ....

Rasanya sudah lama saya nggak bikin tulisan di Blog ini, bukannya sok sibuk sih tapi memang untuk nulis yang rada ngilmiah itu nggak bisa asal nulis, tapi butuh waktu, konsentrasi dan paling penting butuh ide dan inspirasi. Hehehehe.. tulkan..??

Tulisan saya ini terinspirasi dari ceramah seorang ustadz yang sedang naik daun, ceramah beliau sering saya lihat di You Tube. Ustadz yang saya hormati dan saya cintai karena Allah ini dalam ceramahnya sering mendesak agar daerah-daerah baik itu di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota untuk membuat Paraturan Daerah (Perda) Syari’ah terutama Perda Zakat. Desakan yang tentu saja diamini jama’ahnya.

Di sisi lain, awal tahun ini pada tanggal 24 Januari 2018, Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan bahwa potensi zakat di Indonesia sebenarnya setara Rp.210 triliun. Namun, penghimpunan zakat pada 2016 baru Rp.5,2 triliun dan Rp.6 triliun pada 2017.
Waaww..!! selisih angka yang sangat fantastis tentunya. Bayangkan jika jumlah potensi zakat itu dapat terpenuhi, betapa kuatnya potensi ekonomi umat Islam di Indonesia.

Kemudian apakah tidak tercapainya potensi zakat ini kesalahan ditimpakan sepenuh pada tidak adanya Perda Syari’ah tentang Zakat..?? Kenapa seolah-olah Perda Zakat sangat sulit diwujudkan..?? Kenapa pemerintah daerah tidak pro umat Islam dalam hal ini...??



Ngebahas yang namanya Perda tentunya tidak boleh lepas dari ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya. Ayok kita kupas ..!! :

Regulasi  tentang Zakat sebenarnya sudah sangat lengkap, yaitu :
  • UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, 
  • PP Nomor 14 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,  
  • Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat Di Kementerian/Lembaga, Sekretariat Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi  Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Dan Badan Usaha Milik Daerah  Melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
  • dan sejumlah Peraturan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang mendukung regulasi-regulasi tersebut.
Dalam Diktum Menimbang UU No. 23 Tahun 2011 menyebutkan "bahwa Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat". 
Dari frasa “zakat merupakan pranata keagamaan” maka mau tidak mau harus ditarik benang merah ke UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Di dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diatur bahwa agama merupakan salah satu urusan pemerintahan absolut yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Nahh..!! dari hasil menarik benang merah ini dapat disimpulkan dari sisi kewenangan saja pemerintah daerah tidak dapat membentuk Perda Zakat karena urusan keagamaan termasuk zakat merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, sehingga tidak dapat diselenggarakan berdasarkan asas otonomi.
Selanjutnya Pemerintah membentuk BAZNAS sebagai lembaga yang berwenang melakukan tugas Pengelolaan Zakat secara Nasional.  
Apa Fungsi BAZNAS ..??, menurut Pasal 3 PP No. 14 Tahun 2014 dalam melaksanakan tugasnya BAZNAS menyelenggarakan fungsi :
  • perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
  • pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat
  • pengendalian pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat; dan
  • pelaporan dan pertanggungjawaban pengelolaan zakat
So... apa yang bisa dilakukan Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan penghimpunan zakat tanpa menabrak kewenangan..???

Tenaang Bro..!! karena pemerintah daerah punya kewenangan atribusi berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 34  UU No.23 Tahun 2011, yaitu :
  • Pasal 15 memberi amanat kepada Gubernur dan Bupati mengusulkan pembentukan BAZNAS di daerah kepada Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk
  • Pasal 34 memberi amanat kepada Gubernur dan Bupati melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS di daerah dan LAZ sesuai kewenangannya
Disamping kewenangan di atas, melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2014, Gubernur dan Bupati diinstruksikan untuk melakukan koordinasi sesuai tugas dan fungsi masing-masing dengan Badan Amil Zakat Nasional dalam pengumpulan zakat di lingkup Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha Milik Daerah masing-masing, dengan cara antara lain:
  • melakukan sosialisasi dan penyebarluasan informasi mengenai zakat kepada seluruh pegawai/karyawan yang beragama Islam di lingkungan instansi masing-masing; dan
  • mendorong dan memfasilitasi pegawai/karyawan yang beragama Islam di lingkungan instansi masing-masing untuk membayar zakat melalui Badan Amil Zakat Nasional.
Berdasarkan catatan regulasi tersebut diatas. Sebenarnya regulasi zakat sudah lengkap sebagai payung hukum Pengelolaan Zakat, dan Pemerintah Daerah dapat mendukung kesuksesan pelaksanaan zakat di wilayahnya dengan tidak perlu membuat Perda, tapi dengan mengoptimalkan kewenangan dan melaksanakan instruksi dari Pemerintah Pusat. 

Sehingga ketika muncul masalah kenapa pelaksanaan dan penerimaan zakat tidak maksimal, maka yang perlu dipertanyakan adalah sejauh mana keseriusan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan regulasi zakat yang ada.

Masyarakat melalui wakilnya di DPR dan DPRD dapat berperan serta dalam keberhasilan pengelolaan zakat dengan melakukan fungsinya di bidang pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan dan Instruksi Presiden sebagaimana dimaksud di atas.

Dengan demikian maka Perda Zakat tidak dapat dan sebenarnya tidak perlu dibuat, toh tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan pembuatan Perda. Yang lebih penting adalah :
  • Keseriusan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewenangan Pengelolaan Zakat melaui BAZNAS, sesuai regulasi zakat yang ada;
  • Optimalisasi, keberanian, kreatifitas dan inovasi BAZNAS dan LAZ dalam Pengelolaan Zakat;
  • Dan tak kalah pentingnya adalah peran serta dan kesadaran  umat Muslim se-Indonesia dalam menunaikan/membayar Zakat sebagai suatu kewajiban.
AYOO BAYAR ZAKAT-MU ...!!!

Terimakasih.
Wassalaamu’alaikum Wr Wb 





Yogyakarta, 25 Januari 2018


Kamis, 28 Januari 2016

Pengaturan Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta



Oleh : Sumadi,SH.MH  * 

Pengantar : Berikut ini adalah perjalanan Hukum Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta sejak dari berdirinya Keraton Yogyakarta sampai dengan masa sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

 
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan suatu provinsi yang memiliki ciri khas atau keistimewaan dibanding provinsi lain di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pola kehidupan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan Keraton, meskipun pola kerajaan sudah tidak dianut lagi tetapi pola kehidupan dan kepemimpinan Keraton masih sangat mendominasi. Khususnya mengenai masalah pertanahan, di Daerah Istimewa Yogyakarta, sangat spesifik. Hal ini disebabkan dahulu tanah dianggap sebagai milik raja (teori vorstendomein). Raja  adalah pemilik semuanya yang ada di dalam kerajaan, “sangisoring langit salumahing bumi”.
Keberadaan  tanah di Yogyakarta berawal dari adanya  perjanjian Giyanti tgl 13 Februari 1775 antara Pangeran Mangkubumi ( pribadi) dan Paku Buwono III yang disaksikan pihak Belanda, yang menjadi awal hubungan hukum antara keraton dan tanahnya. Dalam perjanjian Giyanti ini kerajaan Mataram dibagi menjadi 2 yakni P Mangkubumi memperoleh bagian Barat wilayah Kasunanan Surakarta dan beberapa wilayah lainnnya sedangkan Paku Buwono III memperoleh pusat kerajaan ( Surakarta) dan beberapa daerahnya.
Setelah perjanjian Giyanti Pangeran Mangkubumi jumeneng menjadi raja dengan Gelar Hamengkubuwono I dengan wilayah meliputi :
a.Kutho negari yang meliputi DIY sekarang ini;
b.Negaragung ( penyangga) meliputi Pajang, Kedu, Magelang dan  Banyumas;
c.Mancanegari meliputi Madiun, dan Blora.
Kemudian ketika terjadi perang Diponegoro ( 1825- 1830). Dan P Diponegoro kalah perang, untuk mengendalikan keamanan, wilayah kraton Yogyakarta dipersempit oleh Belanda menjadi DIY sekarang ini.
Kekuasaan raja adalah mutlak, tidak dapat diganggu gugat, akibatnya penguasaan keraton terhadap tanah di DIY sampai sekarang masih sangat kuat. Masyarakat tidak boleh memiliki tanah kecuali diberi oleh raja. Masyarakat hanya mempunyai hak memakai saja (hak pakai)
Priodesasi peraturan dibidang pertanahan dimulai sejak zaman Penjajahan Belanda sampai dengan zaman kemerdekaan.  Adapun  pengaturan masalah pertanahan dimulai :

A.   Tahun 1918
Masa ini diawali dengan dikeluarkannya Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 dan Rijksblaad Pakualaman 1918 Nomor 18 di mana rakyat lebih terjamin hak-hak atas tanahnya dan merupakan dasar peraturan mengenai hak atas tanah yang berlaku di Yogyakarta.
Dalam Pasal  I Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 disebutkan bahwa “Ingsun ngelestarekake sakabehe bumi kang ora ana tandha yektine kadarbe ing liya mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane Kraton ingsun Ngayogyakarta”. Makna dari bumi kang ora ana tandha yektine berarti tanah-tanah bebas yaitu tanah yang tidak dibebani suatu hak apapun oleh siapapun. Contohnya adalah hak tanah wedhi kengser, gisik, tanah oro oro, tanah pangonan, kuburan, danau, pasar desa,dan lapangan Sedang tanah yang sudah tidak bebas dan terikat dengan hak-hak eigendom (hak milik) berdasarkan hak Barat, tidak menjadi milik raja.
Selanjutnya kepastian hukum terhadap hak masyarakat dijamin oleh Raja dengan:
1.    Hak Andarbe (Hak Mengelola) yang tidak dapat dipindahtangankan (tan keno diliyerke). Hak ini diberikan kepada kalurahan (desa) yang diperuntukkan untuk :
a.    Tanah bengkok/lungguh yang digunakan untuk penghasilan perangkat/pamong kalurahan
b.    Tanah pengarem-arem, untuk penghargaan (pensiun) para perangkat/pamong yang telah memberikan jasanya dalam melayani masyarakat.
c.    Tanah Desa/titisara/suksara, tanah yang digunakan untuk kepentingan desa seperti: pemakaman, jalan desa, pasar desa, dan lain-lain.


2.    Hak Anganggo turun temurun
Hak ini diberikan kepada rakyat untuk mengelola dan memberikan kepada pihak lain dan mewariskan kepada generasi selanjutnya. Hak anganggo turun temurun bersifat mutlak tidak dapat dicabut kecuali untuk kepentingan umum dengan ganti rugi yang layak. Hak ini merupakan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat.

B.   Tahun 1954
             Masa ini diawali dengan terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950. Dalam Undang-Undang tersebut telah ditetapkan urusan Rumah Tangga Daerah yang menjadi wewenang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk urusan dibidang pertanahan.
Untuk menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 maka pemerintah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan :
1.    PERDA ISTIMEWA Nomor 4 Tahun 1954 tentang Penyelesaian tanah-tanah bekas jalan Lori yang dahulu dipergunakan oleh Perusahaan Pertanian Asing yang statusnya termasuk tanah Pemerintah yang bebas .Peraturan ini adalah untuk mengatur tanah-tanah yang dahulu digunakan oleh perusahaan asing di jaman penjajahan yang karena sesuatu hal menjadi terlantar. Untuk mencegah jangan sampai ada pemakaian tanah oleh rakyat secara liar, maka dibuat aturan penyelesaiannya.
Dalam Pasal 5 disebutkan : Pemegang letter C atau Gandok atau Kalurahan yang menerima hak atas tanah bekas jalan Lori dengan membayar uang ganti rugi (pembelian), diwajibkan membayar uang ganti rugi kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 5 disebutkan bahwa : semua tanah yang tidak dibebani “Hak Eigendom” (menurut Pasal 1 Rikjsblad 1918 Nomor 16 dan Rikjsblad 1918 Nomor 18) sekarang dengan sendirinya milik Pemerintah Daerah.

2.    PERDA ISTIMEWA Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Peraturan ini dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950, terutama menyangkut Urusan pertanahan dan sambil menunggu keluarnya Pengaturan tentang Pertanahan secara nasional. Dengan adanya PERDA Nomor 5 Tahun 1954 ini merupakan suatu hal yang sangat Monumental karena Daerah Istimewa Yogyakarta telah menyusun sebuah regulasi tentang Pertanahan disaat Pemerintah Pusat ketika itu belum membuat aturan tentang Pertanahan yang bersifat Nasional.
Dalam PERDA  Nomor 5 Tahun 1954 ini diatur :
Pasal 4 tentang Pemberian Hak Milik Perseorangan secara turun temurun kepada warga Negara Republik Indonesia.
Pasal 6
(1)  Kalurahan sebagai Badan Hukum mempunyai Hak milik atas tanah yang selanjutnya disebut Tanah Desa.
(2)  Tanah Desa dipergunakan untuk:
a.      memberi manfaat kepada para petugas kalurahan yang selanjutnya disebut tanah lungguh.
b.      Memberi pengarem-arem (pensiun).
c.      Kas Desa.
d.      Kepentingan umum.
(3)  tentang mempergunakan dan mengubah luasnya tanah desa sebagaimana tersebut.
Ayat (1) pasal ini dijalankan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 
 Penjelasan  ayat (3) berbunyi untuk mengawasi jangan sampai ada kalurahan yang menjual tanah desa atau mempergunakan tanah desa untuk tanggungan hutang yang kurang tepat, maka perlu ditegaskan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut diatas hanya dapat dijalankan menurut peraturan yang masih berlaku artinya harus dengan persetujuan Pemerintah Provinsi daerah istimewa Yogyakarta.
Pasal 6 ayat (3) inilah menjadi dasar setiap pemanfaatan atau mengubah keluasan Tanah kas Desa harus mendapat ijin Gubernur.

3.    PERDA Nomor 10 Tahun 1954 tentang Pelaksanaan Putusan Desa mengenai peralihan hak andarbe dari Kalurahan dan hak angganggo turun temurun atas tanah dan perubahan jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan : semua keputusan desa mengenai peralihan hak andarbe dari Kalurahan dan hak angganggo turun temurun atas tanah dan perubahan jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta dilaksanakan oleh Pamong Kalurahan bersama DPRD Kalurahan.

4.    PERDA Nomor 11 Tahun 1954 tentang Peralihan hak Milik Perseorangan turun temurun atas tanah.
Pasal 1 ayat (1) : peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah diputus DRPR Kalurahan.
Pasal 1 ayat (2) : Putusan peralihan hak ats tanah tersebut diatas dikirim ke Kepanewon dan setelah diberi pertimbangan atau diketahui oleh Panewu diteruskan ke Kabupaten. Putusan peralihan hak itu harus disahkan oleh Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten.
Pasal 2 ayat  (2) :  Setelah dipertimbangkan oleh DPD Kabupaten, lalu diteruskan kepada DPD Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diberi keputusan. Dalam memberikan keputusannya DPD Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menyerahkan kekuasaannya kepada jawatan Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta.

5.    PERDA Nomor 12 Tahun 1954 tentang Tanda Bukti Yang Sah Bagi Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah.
Pasal 1 ayat (1) menyebutkan : Tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun temurun atas tanah selanjutnya disebut sebagai tanda hak milik beserta petanya harus dibuat menurut model D dan diberikan oleh Jawatan Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta atas nama Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan adanya pemberian tanda hak milik ini maka kepastian hukum atas tanah semakin terjamin sehingga ada kepastian tentang siapa yang berhak atas sebidang tanah tersebut.
Sistem Administrasi tanah dengan mempergunakan buku Letter A, B, dan C yang meliputi:
Letter A : berisi daftar luas tiap-tiap persil atau bagian persil serta jenis tanahnya.
Letter B:  berisi daftar nama-nama orang yang mempunyai hak atas tanah yang terletak tiap-tiap persil serta luas tanahnya.
Letter C : berisi daftar kumpulan luas tanah yang menjadi hak milik tiap orang.
Letter D: tanda hak kepemilikan atas tanah disamping juga diberikan buku Kohir Pajak Bumi.

C.   Tahun 1960

            Pada Tahun 1960 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tangal 24 September 1960. Peraturan ini berlaku secara nasional dan dikenal sebagai UUPA. Undang-undang ini menjadi dasar bagi peraturan di bidang agraria.
Dalam Peraturan Peralihan Ketentuan Konversi ke empat huruf A dan B disebutkan:
a.    Hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya UUPA ini hapus dan beralih kepada Negara.
b.    Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf a di atas, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Maksud pengertian “beralih kepada negara” mengandung maksud bahwa ketika terbit Peraturan Pemerintah yang mengatur tanah swapraja atau bekas swapraja maka seharusnya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini pengaturan mengenai pertanahan yang berlaku di DIY hapus dengan sendirinya. Namun dalam kenyataannya Peraturan Pemerintah tersebut sampai kini belum pernah ada, sehingga  kewenangan tersebut tetap dilestarikan.
 Oleh karena itu, meskipun UUPA telah dikeluarkan, Pemerintah Daerah Provinsi DIY masih memberlakukan beberapa ketentuan yaitu:
1)    Tanah yang tunduk pada peraturan yang berasal dari  Rijksblaad Kasultanan maupun Pakualaman, yaitu tanah yang masih dimiliki oleh pihak keratin yang dikenal sebagai Sultan Gronds atau Pakualaman Gronds.
2)    Tanah yang tunduk pada peraturan daerah, yaitu tanah yang dimiliki atas hak turun temurun dan hak andarbe.
3)    Tanah yang tunduk pada UUPA, yaitu tanah yang dikuasai oleh mayarakat Eropa dan Timur Asing.

D. Tahun 1984
            Masa ini diawali dengan keinginan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menyeragamkan peraturan yang menyangkut pertanahan,mengingat pada saat tersebut adanya proyek proyek pembangunan berasal dari dana INPRES akibat booming dari hasil minyak yang melimpah maka dibutuhkan tanah untuk pembangunan  Beliau berkehendak untuk memberlakukan atau mengintegrasikan dalam peraturan perundang-undangan nasional. Hal tersebut didukung oleh DPRD yang kemudian mengeluarkan keputusan:
1.    Keputusan DPRD Nomor 3/K/DPRD/1984 tentang Pernyataan Pemerintah DIY untuk memberlakukan secara penuh UU Nomor 5 tahun 1960.
2.    Keputusan DPRD Nomor 4/ K/DPRD/1984 tentang Permohonan kepada Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1960 di DIY.
Atas dasar kedua keputusan tersebut, kemudian keluarlah Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1984.
Atas dasar hal tersebut kemudian keluar Perda nomor 3 tahun 1984 tentang Pelaksanaan berlaku sepenuhnya UU nomor 5 tahun 1960 di Propinsi DIY, namun demikian  perda 3 tahun 1984 sama dengan ketentuan konversi   UU nomor 5 tahun 1960 tidak dapat dilaksanakan karena :
1.    Perda 3  tahun 1984 bersifat deklaratoir ( pernyataan ) tidak bersifat regulatoir ( pengaturan).
2.    Dari aspek hukum pasal (2)  perda 3 tahun 1984 menyalahi karena tidak boleh peraturan daerah mengamanatkan ( perintah ) kepada peraturan perundang undangan yang lebih tinggi ( peraturan menteri )
3.    Pengaturan yang khusus sebagaimana pasal (2) sampai saat ini tidak pernah diterbitkan oleh Menteri dalam, Negeri.

Pada tgl 20 September 1984 terbit Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 66 tahun 1984 tentang pelaksanaan Pemberlakuan Sepenuhnya UU Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY. Dalam  Konsideran menimbangnya menyebutkan bahwa dalam rangka pemberlakuan sepenyhnya UU nomor 5 tahun 1960 di Propinsi DIY masih terdapat hal hal yang memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut agar peleksanaan pemberlakuannya tersebut berdayaguna dan berhasilguna.

Kemudian tgl 24 September 1984 terbit Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 69 tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas tanah Milik Perorangan berdasarkan Perda nomor 5 tahun 1954 di Propinsi DIY. Dalam Pasal (1) Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 69 Tahun 1984 menyebutkan bahwa Hak Milik  perorangan atas tanah berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1954 di Propinsi DIY adalah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Konversi yang diatur UU nomor 5 tahun 1960.



Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 69 ini hanya mengatur tentang konversi milik perorangan saja, sedangkan ketentuan lain tentang Tanah Kas Desa yang berasal dari pemberian Kraton, Tanah Sultan Ground, Tanah Pakualaman Ground belum diatur dan masih memerlukan penelitian serta pengkajian lebih lanjut. 
Sehingga  kenyataannya  DIY masih memberlakukan beberapa ketentuan Rijksblaad 1918 Nomor 16, Rijksblaad 1918 Nomor 18 dan Peraturan Daerah-Peraturan Daerah tentang Pertanahan yang dikeluarkan pada Tahun 1954, karena PP tentang tanah swapraja dan keputusan  Mendagri tersebut  belum pernah terbit.
E. Tahun 1985
Pada tahun 1985 terbit Perda nomor 5 tahun 1985 ttg sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa, Pengurusan dan Pengawasannnya. _Pada pasal 9 ayat (1) disebutkan :
(1). Tanah tanah desa yang berupa tanah kas desa, bengkok,lungguh,pengarem-arem, kuburan dll sejenis yang dikuasai oleh dan merupakan kekayaan desa dilarang untuk dilimpahkan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan proyek proyek pembangunan yang ditetapkan dengan keputusan desa.
(2). Keputusan Desa sbg mana dimaksud ayat (1) disahkan oleh Buipati setelah desa yang bersangkutan memperoleh :
        a. ijin tertulis dari gubernur
        b. Ganti tanah yang senilai dengan tanah yang dilepaskan.
        c. Penggantian berupa uang yang digunakan untuk membeli tanah lain yang senilai.
Perda nomor 5 tahun 1985 dirubah dengan Perda nomor 9 tahun 2001 ttg pencabutan sebagian Perda nomor 5 tahun 1985 dan masih memberlakukan ps 9 perda 5 tahun 1985 dimaksud.


 Tanah Sultan Ground ( milik Sultan Yang jumeneng ) Dibagi 2 yakni 

1.   untuk kepentingan Kraton seperti : alun alun, sitihinggil, pasar beringharjo, dll
 2. Sultanat Ground  :  yakni tanah milik sultan yang bias diberi beban hak  yang
                                     dapat didelegasikan  oleh pepatih dalem.

*) Penulis adalah Kepala Biro Hukum Setda DIY periode 2012-2014, dan saat ini masih aktif di pemerintahan Pemda DIY