Oleh : Sumadi,SH.MH *
Pengantar : Berikut ini adalah perjalanan Hukum Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta sejak dari berdirinya Keraton Yogyakarta sampai dengan masa sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan suatu provinsi yang memiliki ciri khas atau keistimewaan dibanding
provinsi lain di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pola kehidupan masyarakat
yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan Keraton, meskipun pola kerajaan sudah
tidak dianut lagi tetapi pola kehidupan dan kepemimpinan Keraton masih sangat
mendominasi. Khususnya mengenai masalah pertanahan, di Daerah Istimewa
Yogyakarta, sangat spesifik. Hal ini disebabkan dahulu tanah dianggap sebagai
milik raja (teori vorstendomein).
Raja adalah pemilik semuanya yang ada di
dalam kerajaan, “sangisoring langit
salumahing bumi”.
Keberadaan tanah di Yogyakarta berawal dari adanya perjanjian Giyanti tgl 13 Februari 1775 antara Pangeran
Mangkubumi ( pribadi) dan Paku Buwono III yang disaksikan pihak Belanda, yang menjadi awal hubungan hukum
antara keraton dan tanahnya. Dalam perjanjian Giyanti ini kerajaan Mataram
dibagi menjadi 2 yakni P Mangkubumi memperoleh bagian Barat wilayah Kasunanan
Surakarta dan beberapa wilayah lainnnya sedangkan Paku Buwono III memperoleh
pusat kerajaan ( Surakarta) dan beberapa daerahnya.
Setelah
perjanjian Giyanti Pangeran Mangkubumi jumeneng menjadi raja dengan Gelar
Hamengkubuwono I dengan wilayah meliputi :
a.Kutho
negari yang meliputi DIY sekarang ini;
b.Negaragung
( penyangga) meliputi Pajang, Kedu, Magelang dan Banyumas;
c.Mancanegari
meliputi Madiun, dan Blora.
Kemudian ketika terjadi
perang Diponegoro ( 1825- 1830). Dan P Diponegoro kalah perang, untuk
mengendalikan keamanan, wilayah kraton Yogyakarta dipersempit oleh Belanda menjadi
DIY sekarang ini.
Kekuasaan raja adalah mutlak, tidak
dapat diganggu gugat, akibatnya penguasaan keraton terhadap tanah di DIY sampai
sekarang masih sangat kuat. Masyarakat tidak boleh memiliki tanah kecuali
diberi oleh raja. Masyarakat hanya mempunyai hak memakai saja (hak pakai)
Priodesasi peraturan dibidang
pertanahan dimulai sejak zaman Penjajahan Belanda sampai dengan zaman
kemerdekaan. Adapun pengaturan masalah pertanahan dimulai :
A.
Tahun 1918
Masa ini diawali dengan dikeluarkannya
Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 dan Rijksblaad Pakualaman 1918 Nomor 18 di
mana rakyat lebih terjamin hak-hak atas tanahnya dan merupakan dasar peraturan
mengenai hak atas tanah yang berlaku di Yogyakarta.
Dalam Pasal I Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16
disebutkan bahwa “Ingsun ngelestarekake
sakabehe bumi kang ora ana tandha yektine kadarbe ing liya mawa wewenang
eigendom, dadi bumi kagungane Kraton ingsun Ngayogyakarta”. Makna dari bumi kang ora ana tandha yektine berarti
tanah-tanah bebas yaitu tanah yang tidak dibebani suatu hak apapun oleh
siapapun. Contohnya adalah hak tanah wedhi
kengser, gisik, tanah oro oro, tanah pangonan, kuburan, danau, pasar desa,dan
lapangan Sedang tanah yang sudah tidak bebas dan terikat dengan hak-hak eigendom (hak milik) berdasarkan hak
Barat, tidak menjadi milik raja.
Selanjutnya
kepastian hukum terhadap hak masyarakat dijamin oleh Raja dengan:
1. Hak Andarbe (Hak Mengelola) yang tidak dapat dipindahtangankan (tan keno diliyerke). Hak ini diberikan
kepada kalurahan (desa) yang diperuntukkan untuk :
a. Tanah bengkok/lungguh yang digunakan untuk penghasilan perangkat/pamong
kalurahan
b. Tanah pengarem-arem, untuk penghargaan (pensiun) para perangkat/pamong
yang telah memberikan jasanya dalam melayani masyarakat.
c. Tanah Desa/titisara/suksara, tanah yang digunakan untuk kepentingan desa
seperti: pemakaman, jalan desa, pasar desa, dan lain-lain.
2. Hak Anganggo turun temurun
Hak ini diberikan kepada rakyat untuk
mengelola dan memberikan kepada pihak lain dan mewariskan kepada generasi
selanjutnya. Hak anganggo turun temurun bersifat mutlak tidak dapat dicabut
kecuali untuk kepentingan umum dengan ganti rugi yang layak. Hak ini merupakan
jaminan kepastian hukum bagi masyarakat.
B.
Tahun 1954
Masa ini diawali dengan
terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
tentang Pembentukan daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950. Dalam Undang-Undang tersebut telah
ditetapkan urusan Rumah Tangga Daerah yang menjadi wewenang Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta termasuk urusan dibidang pertanahan.
Untuk
menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 maka pemerintah Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta mengeluarkan :
1.
PERDA
ISTIMEWA Nomor 4 Tahun 1954 tentang Penyelesaian tanah-tanah bekas jalan Lori
yang dahulu dipergunakan oleh Perusahaan Pertanian Asing yang statusnya
termasuk tanah Pemerintah yang bebas .Peraturan ini adalah untuk mengatur
tanah-tanah yang dahulu digunakan oleh perusahaan asing di jaman penjajahan
yang karena sesuatu hal menjadi terlantar. Untuk mencegah jangan sampai ada
pemakaian tanah oleh rakyat secara liar, maka dibuat aturan penyelesaiannya.
Dalam Pasal 5 disebutkan :
Pemegang letter C atau Gandok atau Kalurahan yang menerima hak atas tanah bekas
jalan Lori dengan membayar uang ganti rugi (pembelian), diwajibkan membayar
uang ganti rugi kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 5 disebutkan bahwa : semua
tanah yang tidak dibebani “Hak Eigendom” (menurut Pasal 1 Rikjsblad 1918 Nomor
16 dan Rikjsblad 1918 Nomor 18) sekarang
dengan sendirinya milik Pemerintah Daerah.
2.
PERDA
ISTIMEWA Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Peraturan ini dalam rangka
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950, terutama menyangkut Urusan
pertanahan dan sambil menunggu keluarnya Pengaturan tentang Pertanahan secara
nasional. Dengan adanya PERDA Nomor 5 Tahun 1954 ini merupakan suatu hal yang
sangat Monumental karena Daerah
Istimewa Yogyakarta telah menyusun sebuah regulasi tentang Pertanahan disaat
Pemerintah Pusat ketika itu belum membuat aturan tentang Pertanahan yang
bersifat Nasional.
Dalam PERDA Nomor 5 Tahun 1954 ini diatur :
Pasal 4 tentang Pemberian
Hak Milik Perseorangan secara turun temurun kepada warga Negara Republik
Indonesia.
Pasal 6
(1) Kalurahan sebagai Badan
Hukum mempunyai Hak milik atas tanah yang selanjutnya disebut Tanah Desa.
(2) Tanah Desa dipergunakan
untuk:
a. memberi manfaat kepada para
petugas kalurahan yang selanjutnya disebut tanah lungguh.
b. Memberi pengarem-arem
(pensiun).
c. Kas Desa.
d. Kepentingan umum.
(3) tentang mempergunakan dan
mengubah luasnya tanah desa sebagaimana tersebut.
Ayat
(1) pasal ini dijalankan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan ayat (3) berbunyi untuk mengawasi jangan
sampai ada kalurahan yang menjual tanah desa atau mempergunakan tanah desa
untuk tanggungan hutang yang kurang tepat, maka perlu ditegaskan bahwa
perbuatan-perbuatan tersebut diatas hanya dapat dijalankan menurut peraturan
yang masih berlaku artinya harus dengan persetujuan Pemerintah Provinsi daerah
istimewa Yogyakarta.
Pasal
6 ayat (3) inilah menjadi dasar setiap pemanfaatan atau mengubah keluasan Tanah
kas Desa harus mendapat ijin Gubernur.
3.
PERDA
Nomor 10 Tahun 1954 tentang Pelaksanaan Putusan Desa mengenai peralihan hak
andarbe dari Kalurahan dan hak angganggo turun temurun atas tanah dan perubahan
jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam Pasal 1 ayat (1)
disebutkan : semua keputusan desa mengenai peralihan hak andarbe dari Kalurahan
dan hak angganggo turun temurun atas tanah dan perubahan jenis tanah di Daerah
Istimewa Yogyakarta dilaksanakan oleh Pamong Kalurahan bersama DPRD Kalurahan.
4.
PERDA
Nomor 11 Tahun 1954 tentang Peralihan hak Milik Perseorangan turun temurun atas
tanah.
Pasal 1 ayat (1) :
peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah diputus DRPR
Kalurahan.
Pasal 1 ayat (2) : Putusan
peralihan hak ats tanah tersebut diatas dikirim ke Kepanewon dan setelah diberi
pertimbangan atau diketahui oleh Panewu diteruskan ke Kabupaten. Putusan
peralihan hak itu harus disahkan oleh Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten.
Pasal 2 ayat (2) :
Setelah dipertimbangkan oleh DPD Kabupaten, lalu diteruskan kepada DPD
Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diberi keputusan. Dalam memberikan
keputusannya DPD Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menyerahkan kekuasaannya
kepada jawatan Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta.
5.
PERDA
Nomor 12 Tahun 1954 tentang Tanda Bukti Yang Sah Bagi Hak Milik Perseorangan
Turun Temurun Atas Tanah.
Pasal 1 ayat (1)
menyebutkan : Tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun temurun atas
tanah selanjutnya disebut sebagai tanda hak milik beserta petanya harus dibuat
menurut model D dan diberikan oleh Jawatan Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta
atas nama Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan adanya pemberian
tanda hak milik ini maka kepastian hukum atas tanah semakin terjamin sehingga
ada kepastian tentang siapa yang berhak atas sebidang tanah tersebut.
Sistem Administrasi tanah
dengan mempergunakan buku Letter A, B, dan C yang meliputi:
Letter A : berisi daftar
luas tiap-tiap persil atau bagian persil serta jenis tanahnya.
Letter B: berisi daftar nama-nama orang yang mempunyai
hak atas tanah yang terletak tiap-tiap persil serta luas tanahnya.
Letter C : berisi daftar
kumpulan luas tanah yang menjadi hak milik tiap orang.
Letter D: tanda hak
kepemilikan atas tanah disamping juga diberikan buku Kohir Pajak Bumi.
C.
Tahun 1960
Pada
Tahun 1960 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria pada tangal 24 September 1960. Peraturan ini berlaku secara
nasional dan dikenal sebagai UUPA. Undang-undang ini menjadi dasar bagi peraturan
di bidang agraria.
Dalam Peraturan Peralihan Ketentuan
Konversi ke empat huruf A dan B disebutkan:
a. Hak dan wewenang atas bumi
dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai
berlakunya UUPA ini hapus dan beralih kepada Negara.
b. Hal-hal yang bersangkutan
dengan ketentuan dalam huruf a di atas, diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Maksud pengertian “beralih kepada
negara” mengandung maksud bahwa ketika terbit Peraturan Pemerintah yang mengatur
tanah swapraja atau bekas swapraja maka seharusnya dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 ini pengaturan mengenai pertanahan yang berlaku di DIY hapus dengan
sendirinya. Namun dalam kenyataannya Peraturan Pemerintah tersebut sampai kini
belum pernah ada, sehingga kewenangan
tersebut tetap dilestarikan.
Oleh karena itu, meskipun UUPA telah
dikeluarkan, Pemerintah Daerah Provinsi DIY masih memberlakukan beberapa
ketentuan yaitu:
1) Tanah yang tunduk pada
peraturan yang berasal dari Rijksblaad
Kasultanan maupun Pakualaman, yaitu tanah yang masih dimiliki oleh pihak
keratin yang dikenal sebagai Sultan Gronds atau Pakualaman Gronds.
2) Tanah yang tunduk pada
peraturan daerah, yaitu tanah yang dimiliki atas hak turun temurun dan hak
andarbe.
3) Tanah yang tunduk pada
UUPA, yaitu tanah yang dikuasai oleh mayarakat Eropa dan Timur Asing.
D. Tahun 1984
Masa ini diawali dengan keinginan
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menyeragamkan peraturan yang
menyangkut pertanahan,mengingat pada saat tersebut adanya proyek proyek
pembangunan berasal dari dana INPRES akibat booming dari hasil minyak yang
melimpah maka dibutuhkan tanah untuk pembangunan Beliau berkehendak untuk memberlakukan atau
mengintegrasikan dalam peraturan perundang-undangan nasional. Hal tersebut
didukung oleh DPRD yang kemudian mengeluarkan keputusan:
1.
Keputusan
DPRD Nomor 3/K/DPRD/1984 tentang Pernyataan Pemerintah DIY untuk memberlakukan
secara penuh UU Nomor 5 tahun 1960.
2.
Keputusan
DPRD Nomor 4/ K/DPRD/1984 tentang Permohonan kepada Presiden untuk mengeluarkan
Keputusan Presiden tentang Pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1960 di DIY.
Atas
dasar kedua keputusan tersebut, kemudian keluarlah Keputusan Presiden Nomor 33
Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY yang mulai berlaku sejak
tanggal 1 April 1984.
Atas
dasar hal tersebut kemudian keluar Perda nomor 3 tahun 1984 tentang Pelaksanaan
berlaku sepenuhnya UU nomor 5 tahun 1960 di Propinsi DIY, namun demikian perda 3 tahun
1984 sama dengan ketentuan konversi UU
nomor 5 tahun 1960 tidak dapat dilaksanakan karena :
1.
Perda
3 tahun 1984 bersifat deklaratoir (
pernyataan ) tidak bersifat regulatoir ( pengaturan).
2.
Dari
aspek hukum pasal (2) perda 3 tahun 1984
menyalahi karena tidak boleh peraturan daerah mengamanatkan ( perintah ) kepada
peraturan perundang undangan yang lebih tinggi ( peraturan menteri )
3.
Pengaturan
yang khusus sebagaimana pasal (2) sampai saat ini tidak pernah diterbitkan oleh
Menteri dalam, Negeri.
Pada tgl 20 September 1984
terbit Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 66 tahun 1984 tentang pelaksanaan
Pemberlakuan Sepenuhnya UU Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY. Dalam Konsideran menimbangnya menyebutkan bahwa
dalam rangka pemberlakuan sepenyhnya UU nomor 5 tahun 1960 di Propinsi DIY
masih terdapat hal hal yang memerlukan
penelitian dan pengkajian lebih lanjut agar peleksanaan pemberlakuannya
tersebut berdayaguna dan berhasilguna.
Kemudian tgl 24 September
1984 terbit Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 69 tahun 1984 tentang
Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas tanah Milik Perorangan berdasarkan
Perda nomor 5 tahun 1954 di Propinsi DIY. Dalam Pasal (1) Keputusan Menteri
Dalam Negeri nomor 69 Tahun 1984 menyebutkan bahwa Hak Milik perorangan atas tanah berdasarkan Perda Nomor
5 Tahun 1954 di Propinsi DIY adalah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Konversi yang diatur UU nomor 5 tahun 1960.
Keputusan
Menteri dalam Negeri Nomor 69 ini hanya mengatur tentang konversi milik
perorangan saja,
sedangkan ketentuan lain tentang Tanah Kas Desa yang berasal dari pemberian
Kraton, Tanah Sultan Ground, Tanah Pakualaman Ground belum diatur dan masih
memerlukan penelitian serta pengkajian lebih lanjut.
Sehingga kenyataannya DIY masih memberlakukan beberapa ketentuan Rijksblaad
1918 Nomor 16, Rijksblaad 1918 Nomor 18 dan Peraturan Daerah-Peraturan Daerah
tentang Pertanahan yang dikeluarkan pada Tahun 1954, karena PP tentang tanah
swapraja dan keputusan Mendagri tersebut
belum pernah terbit.
E. Tahun 1985
Pada
tahun 1985 terbit Perda nomor 5 tahun 1985 ttg sumber Pendapatan dan Kekayaan
Desa, Pengurusan dan Pengawasannnya. _Pada pasal 9 ayat (1) disebutkan :
(1).
Tanah tanah desa yang berupa tanah kas desa, bengkok,lungguh,pengarem-arem,
kuburan dll sejenis yang dikuasai oleh dan merupakan kekayaan desa dilarang
untuk dilimpahkan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan
proyek proyek pembangunan yang ditetapkan dengan keputusan desa.
(2).
Keputusan Desa sbg mana dimaksud ayat (1) disahkan oleh Buipati setelah desa
yang bersangkutan memperoleh :
a. ijin tertulis dari gubernur
b. Ganti tanah yang senilai dengan
tanah yang dilepaskan.
c. Penggantian berupa uang yang
digunakan untuk membeli tanah lain yang senilai.
Perda
nomor 5 tahun 1985 dirubah dengan Perda nomor 9 tahun 2001 ttg pencabutan
sebagian Perda nomor 5 tahun 1985 dan masih memberlakukan ps 9 perda 5 tahun
1985 dimaksud.
Tanah Sultan Ground ( milik Sultan Yang
jumeneng ) Dibagi 2 yakni
:
1. untuk kepentingan Kraton
seperti : alun alun, sitihinggil, pasar beringharjo, dll
2. Sultanat Ground : yakni tanah milik sultan yang bias diberi
beban hak yang
dapat didelegasikan oleh pepatih dalem.
*) Penulis adalah Kepala Biro Hukum Setda DIY periode 2012-2014, dan saat ini masih aktif di pemerintahan Pemda DIY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar