Total Tayangan Halaman

Senin, 09 Desember 2013

Human Trafficking Vs Gerakan Feminisme




Meski agak terlambat namun tidak salah apabila saya mengutip apa yang disampaikan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar pada Rapat Koordinasi Nasional Perlindungan Perempuan dan Anak di Denpasar, pada tanggal 21 Juni 2013. Ibu Linda menyampaikan bahwa diperkirakan 20 persen dari tenaga kerja Indonesia (TKI)  yang bekerja di luar negeri menjadi korban perdagangan orang. Saat ini diperkirakan ada 6,5 juta hingga 9 juta TKI yang bekerja di luar negeri. Linda mengatakan, berdasarkan data dari organisasi migrasi internasional (IOM), 70 persen dari modus perdagangan orang di Indonesia berawal dari pengiriman TKI yang ilegal ke luar negeri. Pada periode 2010 hingga 2012, IOM mencatat terdapat 1.180 korban yang telah dipulangkan dan didampingi.
Berdasarkan hasil pemantauan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hampir sebagian besar daerah di Indonesia terindikasi sebagai daerah asal korban trafficking, baik untuk dalam maupun luar negeri. Daerah tersebut meliputi, Nanggroe Aceh Darrussalam, Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. Indonesia juga menempati urutan ke-3 sebagai negara yang bermasalah dalam memberantas human trafficking. Sekitar 30% prostitusi perempuan di Indonesia adalah perempuan di bawah umur 18 tahun. Sebanyak 40.000 s/d 90.000 per tahun, anak Indonesia menjadi korban kekerasan seksual. Perempuan dan anak Indonesia diperdagangkan untuk eksploitasi seksual, yaitu di Asia dan Timur Tengah.
Human Trafficking atau Perdagangan orang adalah salah satu bentuk modern dari perbudakan manusia yang merupakan perlakuan terburuk terhadap harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi yang lain,
Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa, atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul, melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis.
Seiring dengan perkembangan jaman dimana manusia semakin mengenal tingkat peradaban, dan juga semakin berkembangnya hukum yang semakin memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan maka praktek-praktek perdagangan orang seperti perbudakan tersebut diatas semakin berkurang bahkan kalau boleh dikatakan sekarang ini hampir tidak dikenal lagi. Namun fenomena yang terjadi kemudian adalah bentuk-bentuk perdagangan orang yang justru semakin meningkat dengan berbagai modus operandi yang terkadang sulit untuk dideteksi dan tindak pidana perdagangan orang tersebut korbann utamanya adalah perempuan dan anak-anak. Semakin maraknya tindak pidana perdagangan orang ini bahkan tidak hanya melibatkan perorangan tapi juga korporasi dan acapkali justru para penyelenggara negara menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya yang membuat praktek perdagangan orang semakin merajalela. Jaringan pelaku perdagangan orang bahkan memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara dengan menggunakan berbagai cara termasuk teknologi canggih.
Pada dasarnya gerakan Feminisme lahir dari upaya untuk melakukan pembongkaran terhadap penindasan wanita. Feminisme ini adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan. Pembebasan terhadap kaum wanita tersebut karena wanita disingkirkan secara ekonomi. Di beberapa negara di dunia terutama di negara berkembang dan negara terbelakang, perempuan hampir seluruhnya terkungkung di dalam rumah, dirampas hak demokratis dan ekonominya, dan akhirnya menjadi seorang pekerja seks sebagai korban penindasan laki-laki. Gerakan Feminisme percaya bahwa Opresi* terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup.
Gerakan Feminisme menolak gagasan kaum radikal bahwa ‘biologi’ sebagai dasar pembedaan. penindasan perempuan adalah bagian dari eksploitasi kelas dalam ‘relasi produksi’. Isu perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme.
Menurut Gerakan Feminisme, ketidaksetaraan kekayaan adalah penyebab pelacuran. Wanita sangat mungkin akan memilih untuk “menjual tubuhnya” karena mereka membutuhkan uang, tanpa ada ”keahlian yang dapat mereka pasarkan”. Penganut Feminisme beranggapan bahwa penyebab penindasan perempuan bersifat struktural (akumulasi kapital, dan divisi kerja internasional). Yang membuat wanita menjadi subordinat adalah karena basis material. Wanita tidak memberikan banyak kontribusi, berbeda halnya dengan pria.
Seperti teori ekonomi dan kemasyarakatan, Gerakan Feminisme menawarkan suatu analisis bagi perempuan untuk mendapatkan kebebasan dari kekuatan yang menekannya. Gerakan Feminisme menginginkan hal tersebut sebagai suatu kenyataan. Bagaimanapun juga perempuan dan laki-laki harus dapat bersama-sama membangun sistem dan peran sosial di dalam masyarakat. Dengan kata lain, Gerakan Feminisme menghendaki adanya kesetaraan gender antara wanita dan pria.
Adanya kesetaraan gender ini, akan meminimalisir terjadinya perdagangan orang dan prostitusi. Wanita diperlakukan dengan manusiawi, sama halnya dengan pria, Wanita bukan sebagai komoditas bagi kaum pria. Sistem dalam penegakan hukum juga harus ditingkatkan. Peran dan posisi perempuan di dalam masyarakat tidak akan berubah jika cara pandang laki-laki, masyarakat, dan negara tetap dengan cara pandang maskulin. Perempuan akan terus teropresi. Oleh karena itu, akses dan kontrol perempuan harus dibuka dan diperluas pada semua aspek kehidupan.
Dalam melakukan perlindungan warga negara Indonesia dari praktek perdagangan orang, Pemerintah telah menetapkan sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan Dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan
  • Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2011 Tentang Kewaspadaan Dini Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut di atas merupakan instrumen untuk melindungi masyarakat khususunya wanita dan anak-anak dari bahaya perdagangan orang. Akan tetapi, patutlah diwaspadai bahwa karakteristik perdagangan orang ini, bersifat khusus dan merupakan extra ordinary crime, karena banyak melibatkan aspek yang kompleks, dan bersifat transnasional organized crime, karena melintasi batas-batas negara serta dilakukan oleh organisasi yang rapi dan tertutup. Dengan demikian, strategi penanggulangan dan pemberantasannya harus secara khusus pula. Oleh karena itu, diperlukan profesionalisme dan kehandalan para penegak hukumnya untuk memahami ketentuan hukumnya dan melakukan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan. Disamping dukungan masyarakat melalui advokasi dan pemberdayaan seluruh lapisan masyarakat, sehingga diharapkan tindak pidana perdagangan orang ini dapat ditekan bahkan diberantas.

*) Opresi : suatu tindakan dengan kekuatan yang dimilikinya dapat membuat sesuatu yang berada di bawah opresi merasakan kesengsaraan dan penderitaan

Rabu, 04 Desember 2013

Reformasi Hukum




Setidaknya ada empat hal penting yang diperlukan untuk memberantas korupsi di Indonesia :

  1. Pemimpin yang memiliki komitmen terhadap reformasi kenegaraan secara luas dan pilihan kebijakan pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan rakyat.
  2. Reformasi struktur perekonomian negara.
  3. Reformasi pemerintah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sektor publik.
  4. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik.

Keempat hal tersebut di atas tidak akan efektif jika upaya penegakkan hukum tidak dilaksanakan secara konsisten. Penegakan hukum relevan untuk digaris bawahi karena pada dasarnya upaya penerapan good governance merupakan suatu kerangka penegakan hukum tanpa campur tangan politik, dengan tujuan untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Kuatnya intervensi pemerintah terhadap kekuasaan yudikatif membuat hukum menjadi tidak ada artinya lagi.
Intervensi terhadap pengadilan oleh birokrat dan politisi untuk kepentingan-kepentingan politiknya merupakan awal dimulainya korupsidi lembaga peradilan Indonesia. Selain itu rendahnya gaji penegak hukum dtenggarai sebagai penyebab hilangnya kemandirian dan independensi penegak hukum serta mempercepat proses terjadinya korupsi di lembaga peradilan. Jika ingin meniadakan atau mengurangi korupsi di lembaga peradilan setidak ada dua hal yang harus kita perhatikan, yaitu :

  • Adanya jaminan bahwa kondisi politik baik secara langsung atau tidak langsung tidak akan mempengaruhi karir penegak hukum yang bersifat imparsial, memutus perkara dengan jujur dan adil sesuai dengan hati nuraninya berdasarkan hukum yang berlaku, dengan kata lain adanya jaminan independensi penegak hukum.
  • Sistem penggajian harus dibenahi dengan menggunakan merit system, yaitu penggajian bagi penegak hukum yang memadai seuai dengan martabat dan tanggung jawabnya yang berat sebagai penegak hukum.

Selain kedua hal tersebut di atas, reformasi peradilan berupa penghayatan dan komitmen terhadap kode etik profesi, moralitas, akuntabilitas penegak hukum disertai pengawasan internal terhadap kinerja maupun perilaku penegak hukum, dan penyempurnaan sistem rekruitmen penegak hukum harus dipenuhi untuk mewujudkan peradilan yang bebas korupsi.

Saat ini ketika supremasi hukum menempati kedudukan penting dalam pembangunan, reformasi tidak hanya dilakukan untuk menegakkan independensi penegak hukum saja, tetapi juga reformasi terhadap aturan, norma dan kaidah hukum itu sendiri. Hal ini penting karena hukum sebagai aturan, norma dan kaidah akan selalu mempunyai posisi khusus di tengah masyarakat dan akan memberikan dampak bagi lingkungannya. Kondisi ini membuat setiap dinamika perubahan nilai, sikap dan perilaku masyarakat harus dihadapi oleh hukum yang mampu mengikuti konsep, orientasi dan berbagai permasalahan setiap saat dapat berubah dengan cepat. Selain itu hukum juga harus dapat dengan cepat beradaptasi ke dalam iklim perubahan ini agar tidak menjadi asing di mata masyarakatnya sendiri yang berakibat turunnya citra hukum di mata masyarakat. 
Apabila hukum terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia mengakomodasi segala permasalahan, maka hukum dapat bekerja dengan baik dan bersifat fleksibel. 
Sebaliknya hukum akan menjadi antagonis atau berseberangan dengan masyarakat jika hukum tertutup dan tidak transparan, dengan kata lain hukum bersama dengan masyarakat berbuat sebagai kaidah dan normadalam pembentukan perilaku yang baik dan terkendali. Sehingga pada akhirnya hukumtidak hanya merupakan unsur “tekstual” yang dipandang dari kacamata undang-undang saja, namum juga mrupakan unsur kontekstual yang dapat dilihat dari prespektif  yang lebih luas.

Reformasi Politik





Di Indonesia upaya yang menuntut peran aktif seluruh komponen bangsa ini untuk melakukan pemberantasan korupsi bukanlah usaha yang mudah untuk dilakukan, korupsi telah menyebar ke seluruh komponen bangsa termask anggota parlemen atau politisi. Apalagi korupsi di tingkat elite cenderung merupakan masalah politis dibanding masalah hukum. Sehingga mudah dipahami apabila ketiga pilar penyelenggara negara tidak berdaya dalam menghadapi kasus-kasus korupsi, bahkan melanggengkan budaya korupsi karena ketiganya juga pelaku korupsi.
Reformasi politik di Indonesia selain dilakukan terhadap para politisi juga dilakukan terhadap lembaga legislatif, karena keterkaitan yang erat antara keduanya dalam proses politik. Para politisi pada dasarnya dipilih melalui proses pemilu untuk menjaring politisi yang kredibel dan memiliki integritas sehingga mampu menjalankan proses politik yang bersih dan responsif. Namun proses politik di Indonesia terbukti tidak mampu melahirkan politisi-politisi yang memiliki integritas sehingga mampu melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Berbagai partai politik mendapatkan dana keuangan dari individu-individu atau perusahaan tertentu, sehingga pada saat para donatur tersebut mempunyai kepentingan yang mempengaruhi kebijakan mereka harus memenuhinya meskipun harus mengorbankan kepentingan masyarakat.
Di sisi lain banyak politisi yang merasa telah melakukan investasi ketika mengeluarkan dana untuk partainya termasuk ketika melakukan kampanye, sehingga ketika mereka memperoleh kekuasaan politis mereka berusaha dengan berbagai cara untuk memperoleh pengembalian dari investasi yang telah dikeluarkannya,termasuk memanfaatkan anggaran publik untuk kepentingannya sendiri, atau dengan memeras pihak-pihak yang menginginkan keistimewaan dari kekuasaan yang dimilikinya.
Masyarakat Indonesia saat ini mulai hilang kepercayaannya terhadap para politikus  dan lembaga legisatif, bukan rahasia lagi jika para anggota legsilatif baik di pusat maupun di daerah menerima bayaran (suap) dalam menjalankan tugasnya. Lebih memprihatinkan lagi persetujuan atas Undang-Undang atau Peraturan Daerah tidak lepas dari masalh suap menyuap ini baik itu dari eksekutif maupun dari pihak-pihak yang berkepentingan atas ditetapkannya peraturan perundang-undangan tersebut, hal ini tentunya sangat memprihatinkan karena baik Undang-Undang maupun Peraturan Daerah merupakan aturan, norma atau kaidah yang mengikat seluruh komponen bangsa. Keburukan lembaga legislasi ini didukung dengan minimnya transparansi dan akuntabilitias publik yang seharusnya dilakukan oleh lembaga legislatif itu sendiri. Superioritas lembaga legislatif  membuatnya bisa melakukan apapun, kritikan-kritikan dan koreksi yang dilakukan oleh publik, mahasiswa dan akademisi terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga itu hanya dianggap angin lalu saja.  
Kondisi di atas jelas sangat merugikan dalam upaya mewujudkan good governance, pada akhirnya reformasi di bidang politik pun menjadi salah satu kunci untuk mewujudkan good governance. Reformasi politik untuk pemberantasan korupsi dapat dilakukan sekurang-kurangnya dengan :
  • Pembatasan dan pembagian kekuasaan yang seimbang antarapihak pemerintah, swasta dan masyarakat dengan memperkuat rule of law.
  • Pemberdayaan parlemen, khususnya dengan melakukan reformasi sistem pemilu, karena sistem pemilu yang diterapkan selama ini tidak menjamin akuntabilitas anggota parlemen.
  • Pemberdayaan masyarakat, dengan pemberian akses terhadapinformasi kebijakan pemerintah sehingga kebijakan yang dibuat harus berdasarkan kepentingan rakyat.


Selasa, 12 November 2013

Reformasi Birokrasi




 

Penelitian yang pernah dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang mempunyai birokrasi terburuk kedua di Asia setelah India sebagaimana dilansir oleh Tempo (http://www.tempo.co/read/news/2010/06/02/173252316/Birokrasi-Indonesia-Terburuk-Kedua-di-Asia), Penelitian tersebut mengisyaratkan bahwa kondisi ini disebabkan banyaknya pejabat pemerintah (birokrat) yang menggunakan posisinya untuk meperkaya diri dan kroni-kroninya. Selain itu struktur birokrasi yang sangat hirarkis merupakan salah satu faktor yang memperburuk birokrasi di Indonesia karena selain mengakibatkan kekurang efisienan juga mengakibatkan:
  • Etos kerja birokrat yang cenderung menunggu perintah, petunjuk dan perintah atasan;
  • Kreatifitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrat menjadi berkurang; dan
  • Kualitas pelayanan publik yang buruk dan berbelit-belit.
Etos kerja dan ketidakmandirian birokrat memang merupakan salah satu masalah klasik di Indonesia, selain kualitas pelayanan publik yang buruk. Etos kerja dan ketidakmandirian birokrat terhadap atasannya cenderung diakibatkan karena sikap paternalistik dan feodalisme. Dalam budaya paternalistik sang pemimpin beranggapan bahwa adalah hak alaminya untuk dipatuhi segala keinginan dan perintahnya oleh bawahan, disisi lain bawahan menganggap wajar hal tersebut. Selain itu dalam budaya feodal seorang pemimpin juga dianggap wajar menuntut dan menerima upeti, sementara bawahannya merasa tidak ada yang salah dengan pemberian upeti karena dianggap sebagai suatu kewajiban meskipun memberatkan dirinya. Parahnya terkadang atasan menilai prestasi dan kinerja bawahan berdasarkan besarnya upeti yang disetorkan dan bukan berdasarkan ukuran lain yang lebih logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain kondisi di atas, kualitas pelayanan publik yang tidak efisien dan buruk juga merupakan masalah klasik di Indonesia. Birokrasi yang tidak berorientasi pada pelayanan kepada publik yang selama ini ada mengakibatkan hubungan birokrat dan masyarakat bagaikan hubungan antara patron dan client, yaitu pola hubungan yang mendorong birokrat merasa sebagai pihak yang memiliki kekuasaan atas kehidupan masyarakat. Akibat negatif dari pola ini masyarakat yang membutuhkan pelayanan birokrasi serasa berhubungan dengan penguasa feodal yang harus selalu dipenuhi “keinginannya”. Padahal keinginan birokrasi disini berarti uang, sehingga masyarakatpun harus mengeluarkan sejumlah uang (suap) untuk memperlancar urusannya. 
Dalam kerangka  paradigma good governance kondisi-kondisi di atas dapat menjadi penghalang penerapan paradigma itu. Harus ada koreksi terhadap birokrasi yang hirarkis, peternalistik, feodal dan tidak efisien. Briokrasi yang berorientasi pada dominasi dan kontrol atasan diarahkan untuk berubah menjadi paradigma yang baru yang berorientasi partisipasi, kerja tim, dan kontrol rekan kerja.
Penulis melihat saat ini perubahan tersebut sudah mulai terwujud, hal ini dapat dilihat dari perubahan cara penerimaan pegawai (calon birokrat) yang mulai bersih, kebijakan-kebijakan yang mulai pro kepada masyarakat, pelayanan di berbagai bidang yang kian 'ramah' dan perubahan cara pandang para birokrat sebagai pelayanan masyarakat. tentunya perubahan ini masih berjalan setahap demi setahap dan membutuhkan dukungan dari seluruh warga Indonesia.





Good Governance


Good governance sejalan dengan semangat reformasi yang menuntut transparansi dan akuntabilitas, kelemahan mencolok dalam proses penerapan good governance di Indonesia adalah yaitu tingginya angka korupsi, sehingga Indonesia sempat masuk dalam kategori salah satu negara terkorup di dunia.  Dalam upaya untuk mencapai good governance, reformasi terhadap penyelengara negara merupakan proses penting yang wajib untuk dilakukan.  
  • Reformasi terhadap Birokrasi  menekankan pentingnya sikap melayani para birokrat kepada masyarakat;
  • Reformasi hukum menekankan pentingnya para pelaksana hukum mempunyai komitmen terhadaphukum sebagai norma, dan kaidah yang mengatur masyarakat ketika menghadapi berbagai perubahan yang terjadi di tengah masyarakat; sedangkan
  • Reformasi politik menekankan pentingnya inegritas politisi dan lembaga legislatif untuk menekan berbagai tindak korupsi yang terjadi.
Good governance secara definitif diartikan sebagai penyelenggaraan manjemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta menciptakan kerangka kerja hukum dan politik. Paradigma yang dikembangkan oleh Worl Bank,UNDP dan ADB ini menegaskan pentingnya kesejajaran dan kerharmonisan hubungan antara tiga elemen penting dalam suatu negara, yaitu pemerintah, pasar dan masyarakat. 
Dalam perkembangannya Indonesia “dipaksa” menerapkan good governance dalam menyusun kebijakan ekonomi dan politik sejalan dengan semangat reformasi yang menutut transparansi dan akuntabilitas dalam mewujudkan negara yang bersih dan responsif, berkembangnya masyarakat madani dan perkembangan bisnis yang bertanggung jawab.   
Transparansi merupakan keterbukaan Pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumberdaya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi itu. Sedangkan akuntabilitas pada dasarnya merupakan pemberian informasidan pengungkapan semua aktivitas dan kinerja pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Transparansi dan akuntabilitas diperlukan agar semua aktivitas publik dapat lebih dikontrol dan dipertanggungjawabkan khususnya dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi dan hak untuk didengar aspirasinya. Sehingga dalam pelaksanaannya, good governance mengandalkan rule of law, penentuan  kebijakan yang transparan, pelaksanaan kebijakan yang bertanggungjawab, birokrasi yang berkualtas dan masyarakat yang cakap. 
Di Indonesia kondisi sebagaimana dimaksud di atas bagai mimpi di siang bolong. Tingginya angka korupsi dikalangan penyelenggara negara (birokrat, penegak hukum dan politisi) menjadi kelemahan terbesar bagi negeri ini untuk mewujudkan good governance. Korupsi menjadikan kondisi ideal tersebut diatas menjadi terabaikan. Secara teoritis korupsi dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan korupsi disebabkan adanya regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya penyelewengan, karakteristik tertentu dari perpajakan dan provisi atas barang dan jasa dibawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran karena adanya tradisi birokrasi yang cenderung korup, gaji birokrat yang rendah dan kontrol atas intitusi serta transparansi peraturan dan hukum yang tidak memadai. Sehingga bisa dikatakan bahwa korupsi selalu mengandung dua unsur :
  • Penyalahgunaan kekuasan oleh para pejabat atau aparatur negara yang melampaui batas kewajaran hukum; dan
  •  Pengutamaan pribadi atau klien diatas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara.
Fenomena yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa korupsi seakan telah berkembang menjadi sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga upaya pemberantasannya justru akan menghancurkan pemerintahan itu sendiri. Kondisi ini diperparah dengan ketidakjelasan agenda reformasi dari para penyelenggara negara.  Para penyelenggara negara tidak mau berkaca pada rezim korup di masa lalu, sehingga bukan hanya berbagai kasus korupsi yang pernah terjadi tidak terselesaikan tapi juga mendorong kasus-kasus korupsi baru bermunculan. Sehingga agenda reformasi dari birokrat, penegak hukum dan politisi harus dilakukan jika bangsa Indonesia tidak mau terus-menerus menjadi bangsa terkorup di dunia dan membuat paradigma good governance bisa terlaksana.