Penelitian
yang pernah dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang mempunyai birokrasi terburuk kedua
di Asia setelah India sebagaimana dilansir oleh Tempo (http://www.tempo.co/read/news/2010/06/02/173252316/Birokrasi-Indonesia-Terburuk-Kedua-di-Asia), Penelitian tersebut
mengisyaratkan bahwa kondisi ini disebabkan banyaknya pejabat pemerintah
(birokrat) yang menggunakan posisinya untuk meperkaya diri dan kroni-kroninya.
Selain itu struktur birokrasi yang sangat hirarkis merupakan salah satu faktor
yang memperburuk birokrasi di Indonesia karena selain mengakibatkan kekurang
efisienan juga mengakibatkan:
- Etos kerja birokrat yang cenderung menunggu perintah, petunjuk dan perintah atasan;
- Kreatifitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrat menjadi berkurang; dan
- Kualitas pelayanan publik yang buruk dan berbelit-belit.
Etos
kerja dan ketidakmandirian birokrat memang merupakan salah satu masalah klasik
di Indonesia, selain kualitas pelayanan publik yang buruk. Etos kerja dan
ketidakmandirian birokrat terhadap atasannya cenderung diakibatkan karena sikap
paternalistik dan feodalisme. Dalam budaya paternalistik sang pemimpin
beranggapan bahwa adalah hak alaminya untuk dipatuhi segala keinginan dan
perintahnya oleh bawahan, disisi lain bawahan menganggap wajar hal tersebut.
Selain itu dalam budaya feodal seorang pemimpin juga dianggap wajar menuntut
dan menerima upeti, sementara bawahannya merasa tidak ada yang salah dengan
pemberian upeti karena dianggap sebagai suatu kewajiban meskipun memberatkan
dirinya. Parahnya terkadang atasan menilai prestasi dan kinerja bawahan
berdasarkan besarnya upeti yang disetorkan dan bukan berdasarkan ukuran lain
yang lebih logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain
kondisi di atas, kualitas pelayanan publik yang tidak efisien dan buruk juga
merupakan masalah klasik di Indonesia. Birokrasi yang tidak berorientasi pada
pelayanan kepada publik yang selama ini ada mengakibatkan hubungan birokrat dan
masyarakat bagaikan hubungan antara patron dan client, yaitu pola hubungan yang
mendorong birokrat merasa sebagai pihak yang memiliki kekuasaan atas kehidupan
masyarakat. Akibat negatif dari pola ini masyarakat yang membutuhkan pelayanan
birokrasi serasa berhubungan dengan penguasa feodal yang harus selalu dipenuhi
“keinginannya”. Padahal keinginan birokrasi disini berarti uang, sehingga
masyarakatpun harus mengeluarkan sejumlah uang (suap) untuk memperlancar
urusannya.
Dalam
kerangka paradigma good governance kondisi-kondisi di atas dapat menjadi penghalang
penerapan paradigma itu. Harus ada koreksi terhadap birokrasi yang hirarkis,
peternalistik, feodal dan tidak efisien. Briokrasi yang berorientasi
pada dominasi dan kontrol atasan diarahkan untuk berubah menjadi paradigma
yang baru yang berorientasi partisipasi, kerja tim, dan kontrol rekan kerja.
Penulis melihat saat ini perubahan tersebut sudah mulai terwujud, hal ini dapat dilihat dari perubahan cara penerimaan pegawai (calon birokrat) yang mulai bersih, kebijakan-kebijakan yang mulai pro kepada masyarakat, pelayanan di berbagai bidang yang kian 'ramah' dan perubahan cara pandang para birokrat sebagai pelayanan masyarakat. tentunya perubahan ini masih berjalan setahap demi setahap dan membutuhkan dukungan dari seluruh warga Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar