Total Tayangan Halaman

Selasa, 12 November 2013

Reformasi Birokrasi




 

Penelitian yang pernah dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang mempunyai birokrasi terburuk kedua di Asia setelah India sebagaimana dilansir oleh Tempo (http://www.tempo.co/read/news/2010/06/02/173252316/Birokrasi-Indonesia-Terburuk-Kedua-di-Asia), Penelitian tersebut mengisyaratkan bahwa kondisi ini disebabkan banyaknya pejabat pemerintah (birokrat) yang menggunakan posisinya untuk meperkaya diri dan kroni-kroninya. Selain itu struktur birokrasi yang sangat hirarkis merupakan salah satu faktor yang memperburuk birokrasi di Indonesia karena selain mengakibatkan kekurang efisienan juga mengakibatkan:
  • Etos kerja birokrat yang cenderung menunggu perintah, petunjuk dan perintah atasan;
  • Kreatifitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrat menjadi berkurang; dan
  • Kualitas pelayanan publik yang buruk dan berbelit-belit.
Etos kerja dan ketidakmandirian birokrat memang merupakan salah satu masalah klasik di Indonesia, selain kualitas pelayanan publik yang buruk. Etos kerja dan ketidakmandirian birokrat terhadap atasannya cenderung diakibatkan karena sikap paternalistik dan feodalisme. Dalam budaya paternalistik sang pemimpin beranggapan bahwa adalah hak alaminya untuk dipatuhi segala keinginan dan perintahnya oleh bawahan, disisi lain bawahan menganggap wajar hal tersebut. Selain itu dalam budaya feodal seorang pemimpin juga dianggap wajar menuntut dan menerima upeti, sementara bawahannya merasa tidak ada yang salah dengan pemberian upeti karena dianggap sebagai suatu kewajiban meskipun memberatkan dirinya. Parahnya terkadang atasan menilai prestasi dan kinerja bawahan berdasarkan besarnya upeti yang disetorkan dan bukan berdasarkan ukuran lain yang lebih logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain kondisi di atas, kualitas pelayanan publik yang tidak efisien dan buruk juga merupakan masalah klasik di Indonesia. Birokrasi yang tidak berorientasi pada pelayanan kepada publik yang selama ini ada mengakibatkan hubungan birokrat dan masyarakat bagaikan hubungan antara patron dan client, yaitu pola hubungan yang mendorong birokrat merasa sebagai pihak yang memiliki kekuasaan atas kehidupan masyarakat. Akibat negatif dari pola ini masyarakat yang membutuhkan pelayanan birokrasi serasa berhubungan dengan penguasa feodal yang harus selalu dipenuhi “keinginannya”. Padahal keinginan birokrasi disini berarti uang, sehingga masyarakatpun harus mengeluarkan sejumlah uang (suap) untuk memperlancar urusannya. 
Dalam kerangka  paradigma good governance kondisi-kondisi di atas dapat menjadi penghalang penerapan paradigma itu. Harus ada koreksi terhadap birokrasi yang hirarkis, peternalistik, feodal dan tidak efisien. Briokrasi yang berorientasi pada dominasi dan kontrol atasan diarahkan untuk berubah menjadi paradigma yang baru yang berorientasi partisipasi, kerja tim, dan kontrol rekan kerja.
Penulis melihat saat ini perubahan tersebut sudah mulai terwujud, hal ini dapat dilihat dari perubahan cara penerimaan pegawai (calon birokrat) yang mulai bersih, kebijakan-kebijakan yang mulai pro kepada masyarakat, pelayanan di berbagai bidang yang kian 'ramah' dan perubahan cara pandang para birokrat sebagai pelayanan masyarakat. tentunya perubahan ini masih berjalan setahap demi setahap dan membutuhkan dukungan dari seluruh warga Indonesia.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar